RISAD KOLLO
Sunday, April 21, 2013
8 Hal yang Terbukti Membuat Anak Lebih Pintar
Sebagai orangtua, tentu Anda ingin anak mendapatkan yang terbaik dalam hidup, jadi wajar saja bila Anda ingin meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Berikut ini beberapa cara yang Anda coba:
1. Rawat bayi sejak lahir
Memberi ASI memberikan banyak keuntungan, termasuk kekebalan dan perlindungan dari penyakit. Tetapi tidak banyak yang tahu bahwa pemberian ASI juga memengaruhi kecerdasan. Sebuah hasil penelitian dari McGill University di Montreal menunjukkan, anak-anak usia 6,5 tahun yang diberi ASI semasa kecil memiliki skor IQ verbal 7,5 poin lebih tinggi dibanding anak-anak yang tidak diberi ASI. American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama.
2. Aktivitas fisik
Semua guru SD pasti akan bilang bahwa anak Anda lebih bisa berkonsentrasi setelah pelajaran olahraga, atau istirahat. Tetapi itu bukan satu-satunya keuntungan kegiatan fisik. Setelah mengulas 14 penelitian, para peneliti Belanda menemukan bahwa skor tes kognitif anak-anak akan lebih tinggi bila mereka punya akses ke ruangan senam, untuk melepaskan ketegangan. Jadi, doronglah anak Anda untuk berolahraga.
3. Jauhi makanan cepat saji
Coret menu makanan yang mengandung banyak lemak, banyak gula karena itu akan menurunkan angka IQ anak, demikian terungkap dalam “Journal of Epidemiological Community Health”. Peneliti menelusuri kebiasaan makan 4000 anak-anak sejak umur 3 dan mengecek kecerdasan saat mereka umur 8,5. Anak-anak yang paling banyak makan makanan cepat saji, yang tinggi kadar gula dan lemak, memiliki skor IQ 1,67 poin lebih rendah dibanding anak-anak yang sering makan buah, sayur, ikan dan pasta.
4. Putar musik
Studi Universitas Toronto mengungkapkan, pelajaran musik dapat meningkatkan kemampuan otak anak-anak umur 6-11. Anak-anak yang ikut pelajaran musik mengalami peningkatan IQ paling besar, lebih besar dari yang ikut pelajaran drama. Semua jenis pelajaran musik itu bagus, jadi bila anak Anda tidak mau bermain terompet, jangan khawatir.
5. Jangan lupa minyak ikan
Sebuah studi New York University, yang mengevaluasi begitu banyak studi mengenai penyebab meningkatnya IQ seseorang, mengungkapkan bahwa asam lemak Omega-3 adalah yang terbaik. Riset itu mengatakan, ketika ibu hamil dan menyusui mendapatkan 1000 mg DHA setiap hari, maka IQ balita dapat meningkat lebih dari 3,5 poin. Selain itu, bayi yang mendapatkan DHA selama tiga bulan ternyata memiliki skor IQ 6,5 poin lebih tinggi dibanding mereka yang tidak.
6. Interaksi membaca buku
Studi New York University yang sama juga mencari tahu bagaimana interaksi membaca — yakni mendorong anak-anak untuk membaca dan mengajari mereka cara bertanya — dapat meningkatkan intelegensia anak-anak. Peneliti menemukan bahwa ketika anak-anak berumur di bawah 4 tahun aktif dibacakan buku, kecerdasannya bisa meningkat lebih dari 6 poin. Sambil membacakan buku, doronglah anak Anda untuk bertanya kemungkinan telur berwarna lain.
7. Pertimbangkan daftarkan anak ke preschool.
Analisis terhadap 16 studi terbaru mengungkapkan, mengirim anak terbelakang ke preschool yang fokus pada pengembangan bahasa dapat meningkatkan skor IQ hingga 7 poin. Masukkanlah anak ke preschool jika memang tersedia di dekat rumah Anda.
8. Sarapan
Anak-anak yang memulai hari dengan sarapan sehat terbukti lebih mudah berkonsentrasi, lebih siap dan pada akhirnya mendapatkan nilai lebih tinggi. Siapa sangka, sarapan sederhana seperti sereal dan segelas jus dapat membantu anak Anda lebih berenergi dalam menjalani hari.(sumber:http://id.she.yahoo.com/8-hal-yang-terbukti-membuat-anak-lebih-pintar-015114253.html;_ylt=Ahx8CbJ31VnOPBkA0z7WxqXneeR_;_ylu=X3oDMTRzcjA5ZDZwBGNjb2RlA2N0LmMEbWl0A01vc3QgcG9wdWxhciBTaGUEcGtnA2E5YmU1MjlhLWMzYTgtMzA3Yy04NTM0LWRmMDY3MWEyNmEwNQRwb3MDMQRzZWMDTWVkaWFCTGlzdE1peGVkTW9zdFBvcHVsYXJDQVRlbXAEdmVyAzRjNzgxMzIzLWE4OTQtMTFlMi1iYmZiLTI3MWE3OWM5ZDcwZA--;_ylg=X3oDMTJvOTlmdWY0BGludGwDaWQEbGFuZwNpZC1pZARwc3RhaWQDNDU1Y2U1ZmEtZWZjOC0zNjVlLTk2NmQtNDJhNTZjOWRlNTdmBHBzdGNhdANzZWhhdARwdANzdG9yeXBhZ2U-;_ylv=3)
10 Hal yang Merusak Hubungan
Pernah merasa hubungan asmara Anda bermasalah? Anda tidak sendirian. Kenyataannya, setiap asmara perlu perjuangan. “Selamat bergabung,” kata pakar asmara Helen LaKelly Hunt kepada Yahoo! Shine.
LaKelly Hunt dan suaminya, Harville Hendrix, adalah pendiri Imago Relationship Therapy dan sudah berkecimpung di bidang konsultasi asmara selama 30 tahun.
Hendrix, pengarang buku “Getting the Love You Want”, menelaah alasan pasangan bertengkar sejak 1970-an. Setelah meneliti dan bertanya dengan ribuan pasangan, dia dan LaKelly Hunt menemukan 10 kebiasaan buruk yang dapat membuat asmara berantakan, bahkan perceraian.
1) Kritis: Bahkan “kritik membangun” juga dapat membuat pasangan Anda defensif dan merasa tidak aman dalam hubungan. Bila Anda bersikap kasar dan menghakimi, hmm, jangan kaget bila dia pergi meninggalkan Anda.
2) Segalanya harus sama: Hendrix dan LaKelly Hunt mengatakan “kecocokan mutlak” adalah jalur cepat bagi hubungan yang payah. Jika Anda ngotot pasangan Anda harus punya perasaan dan penilaian yang sama dengan Anda, itu bisa membuatnya menderita dan merana.
3) Kehilangan keintiman: Jika Anda kerap “melarikan diri” dari pasangan dan malah memilih sering bekerja, menonton televisi, atau aktivitas lainnnya, Anda menciptakan jurang antara kalian — yang mungkin saja mustahil diseberangi.
4) Suka menyalahkan: Bila Anda terlalu sering menudingnya, tentu saja dia akan defensif. Bila Anda ingin berkomunikasi dengan intim, gunakanlah pernyataan yang dimulai dengan “Aku merasa”, bukan “Kamu tuh”.
5) Perhitungan: Hendrix dan LaKelly Hunt mengatakan, sifat memberi-sesuatu-dengan-syarat-tertentu serta menerima-sesuatu-dengan-curiga akan mengikis hubungan. Mereka mengingatkan bahayanya memberi sesuatu kepada pasangan dengan perhitungan.
6) Santai saja: Tidak ada hubungan asmara yang bisa selamanya membahagiakan. Begitu tahap awal romansa sudah usai, banyak pasangan berpikir hubungan pun berakhir. Mereka pun tidak mencoba menghidupkan kembali api cinta.
7) Fokus ke hal negatif: Jika Anda senantiasa memikirkan — dan membicarakan — keburukan pasangan, Anda akan makin merasa tidak puas. Hendrix mengatakan, alangkah anehnya ketika pasangan pergi ke konsultan untuk mengeluh satu sama lain. Ini, katanya, bisa amat berbahaya bagi hubungan.
8) Enggan mendengarkan: Anda pikir Anda yang paling benar setiap saat? Hmm, ini cara bagus buat mengakhiri hubungan.
9) Tidak terbuka: Jika Anda tidak terbuka mengungkapkan apa yang Anda butuhkan dan inginkan dari pasangan, Anda akan terus-menerus merasa frustrasi. Hendrix dan LaKelly Hunt bilang, adalah penting untuk “berbagi mengenai hal-hal yang menyentuh hati Anda.”
10) Berharap kisah cinta seperti dongeng: Kisah cinta sempurna hanya ada di dongeng — sementara kita hidup di dunia nyata. Sadarilah itu dan terimalah pasangan apa adanya.(suber:http://id.she.yahoo.com/10-hal-yang-merusak-hubungan-045149276.ht)
Wortel, Sahabat Baru Pria Dewasa
Wortel akan menjadi sahabat para pria. Sayuran kesukaan kelinci ini menjadi senjata baru melawan kanker prostat.
Makanan dengan sumber alami vitamin A yang cukup menjadi cara mudah dan murah untuk mengendalikan penyebaran kanker prostat.
Menurut peneliti di University of York, kandungan asam retinoat yang terbuat dari vitamin A menjadi pahlawan untuk melawan sel-sel kanker.
Kandungan asam retinoat juga dapat ditemukan dalam sayuran hijau dan hati.
Penelitian sebelumnya di Australia juga telah mengungkapkan bahwa beta-karoten dalam wortel turut mencegah terjadinya kanker prostat.
(sumber:http://id.she.yahoo.com/wortel-sahabat-baru-pria-dewasa-033000166.html )
Friday, May 13, 2011
un 2011
Hasil UN SMA/MA NTT Terpuruk, Bali Terbaik
Sumba Tengah dan Rote Ndao 100 Persen
JAKARTA, Timex-Menjelang pengumuman kelulusan siswa SMA dan MA tahun ajaran 2010/2011, Kemendiknas merilis data kelulusan Ujian Nasional (UN) para siswa di seluruh Indonesia.
Tercatat sebanyak 1.450.498 siswa atau sekitar 99,22 persen setingkat SMA dan MA dinyatakan lulus UN dari total 1.461.941 siswa. Sementara jumlah siswa yang dinyatakan gagal dalam UN sebanyak 11.443 siswa.
Menurut Mendiknas Mohammad Nuh, tingkat kelulusan tahun ini mengalami peningkatan dibanding tahun lalu. "Tahun 2010 jumlah siswa SMA/MA yang lulus sebanyak 1.368.938 anak atau sekitar 89,93 persen.
Jumlah siswa yang tidak lulus juga mengalami penurunan, tahun kemarin yang tidak lulus mencapai 153.257 siswa atau sekitar 10,07 persen," papar Nuh, dalam konferensi pers di ruang sidang, gedung Kemendiknas, Jumat (13/5).
Nuh melanjutkan, terkait peringkat kelulusan UN, provinsi Bali meraih ranking tertinggi dengan rerata nilai UN 8,31. Sementara posisi paling buncit diduduki Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nilai rerata UN hanya 6,13.
Sementara Provinsi Jawa Timur berada di posisi lima dengan rerata nilai UN 7,86, sedangkan Provinsi Sumatra Utara berada di peringkat dua. Provinsi DKI berada di posisi ketiga belas berada di bawah Provinsi Maluku. Meski tingkat kelulusan mengalami peningkatan, mantan Rektor ITS tersebut menyatakan masih ada sekolah yang keseluruhan siswanya tidak lulus.
Total ada lima SMA yang seratus persen siswanya dinyatakan gagal dalam UN. Kelima sekolah tersebut tersebar di DKI Jakarta dengan jumlah siswa tidak lulus sebanyak tujuh orang, Simeulue, Aceh (26 siswa), Jambi (2 siswa), Kian Darat, Maluku (48 siswa), Urei Fasei, Papua (64).
"Ini satu sekolah solider semua siswanya. Jadi satu tidak lulus, yang lain juga ikutan," canda Nuh tanpa mau menyebutkan nama-nama sekolah tersebut. Nuh memaparkan, saat ini, nilai UN para siswa tersebut dalam proses pengiriman ke sekolah masing-masing.
Hasil nilai UN tersebut akan dibahas dalam rapat bersama di setiap satuan pendidikan. Karena itu, hasil UN belum menjamin kelulusan seseorang. "Lulus UN belum tentu lulus sekolah. Tiap satuan pendidikan masih akan melihat beberapa hal.
Misalnya semua program sudah diikuti, apakah berkepribadian baik dan berakhlak mulia serta ujian nyanyi atau muatan lokal lainnya lulus atau tidak," jelasnya. Sementara itu, untuk hasil kelulusan UN para siswa SMK, sebanyak 938.043 siswa dari total 942.698 siswa.
Sementara jumlah siswa yang tidak lulus mencapai 4.655 siswa. Tingkat kelulusan siswa SMK paling tinggi berada di Provinsi Sumatra Utara, sedangkan tingkat kelulusan terendah berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut rencana pengumuman kelulusan akan dilakukan di masing-masing sekolah, pekan depan.
Nuh menjanjikan usai pengumuman kelulusan, pihaknya akan segera menganalisis hasil kelulusan, terkait tingkat kelulusan, hingga tingkat kesulitan soal. "Minggu depan kita lakukan depth analysis. Kita lihat semua, tujuan dari UN kan sebagai peta untuk lakukan perbaikan. Jadi nanti dievaluasi apakah bertambah baik, kalau berubah dimananya," imbuhnya.
NTT Kembali Jadi Juru Kunci
Komentar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT, Thobias Uly bahwa pihaknya optimistis kalau persentase Ujian Nasional (UN) SMA/MA dan SMK tahun ini meningkat dibanding tahun 2010 lalu memang terwujud.
Hanya sayang, peningkatan itu tak mampu mengangkat prestasi NTT dari posisi juru kunci dalam pelaksanaan UN tahun ini. Provinsi NTT yang dipimpin duet Frans Lebu Raya dan Esthon L. Foenay kembali menempati peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia untuk jumlah peserta UN SMA/MA terbanyak tidak lulus.
Ini merupakan ulangan prestasi yang diraih NTT pada UN tahun 2010 lalu, dimana NTT menjadi juru kunci karena setengah lebih dari jumlah peserta UN-nya tidak lulus. Sekadar mengingatkan, tahun 2010 lalu, peserta UN SMA/MA NTT berjumlah 35.201.
Dari jumlah itu, hanya 16.868 siswa (47,59 persen) yang lulus, sedangkan sisanya 18.333 siswa (52,08 persen) tidak lulus. Meski demikian, presetasi kelulusan tahun jauh lebih baik dibanding tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), sebagaimana disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh dalam jumpa pers di Gedung Kemendiknas, Jumat (13/5) petang, jumlah peserta UN SMA NTT tahun ini adalah 32.532 siswa.
Dari jumlah ini, hanya 1.813 siswa (5,57 persen) yang tidak lulus. Artinya 30.719 siswa (94,43 persen) dinyatakan lulus UN tahun ini. Peringkat pertama dengan kelulusan UN terbaik diraih provinsi Bali (tidak lulus 0,04 persen), diikuti Jabar (tidak lulus 0,08 persen), dan Provinsi Sulut (tidak lulus 0,09 persen) diurutan tiga.
Sementara urutan tiga terbawah berturut-turut adalah NTT (5,57 persen tidak lulus), Babel (4,14 persen tidak lulus) dan Kalteng (4 persen tidak lulus). Nuh mengatakan, jika dilihat berdasarkan komposisi jumlah sekolah peserta UN SMA/MA yang jumlahnya 16.835 sekolah, maka sekolah yang persentase kelulusannya 100 persen sebanyak 14.131 sekolah (83,94 persen.
"Ini mengalami peningkatan, karena jumlah sekolah yang nol persen kelulusannya hanya lima sekolah, lulus dibawah 25 persen 15 sekolah, antara 25 persen sampai 50 persen 46 sekolah, diatas 50 persen sampai 75 persen 155 sekolah, diatas 75 persen sampai 90 persen 396 sekolah, dan antara 90 persen sampai 100 persen 2.084 sekolah," ungkap M. Nuh.
Untuk perhitungan Rerata Nilai Akhir (hasil penggabungan antara Nilai UN dan Nilai Sekolah), provinsi Bali menempati peringkat pertama, sedangkan NTT diposisi juru kunci. Untuk Rerata Akhir Provinsi Bali nilainya siswanya 8,40 (Rerata Nilai UN = 8,31; Rerata NS = 8,51), sedangkan NTT Rerata Akhir adalah 6,87 (Rerata Nilai UN = 6,13; Rerata NS = 7,97).
Sementara untuk Rerata Akhir Nasional adalah 7,81; Rerata Nilai UN Nasional 7,60, dan Rerata Nasional Nilai Sekolah (NS) adalah 8,11. Mendiknas menyebutkan, secara nasional, jumlah peserta UN tahun ini sebanyak 1.461.941 siswa.
Siswa yang dinyatakan lulus berjumlah 1.450.498 orang (99,22 persen). Sedangkan jumlah siswa yang tidak lulus 11.443 orang (0,78). "Jika dibanding tahun 2010 lalu, kelulusan tahun ini mengalami peningkatan.
Tahun lalu persentase kelulusan 99,04 persen, tahun ini naik menjadi 99,22 persen," ungkap Mendiknas. M. Nuh menyebutkan, peserta UN SMA/MA yang mendaftar tahun ini berjumlah 1.476.575, yang memasukkan Nilai Sekolah 1.467.058 (99,36 persen); tidak memasukkan 9.517 (0,64 persen).
Yang mengikuti UN 1.461.941 (99,65 persen), tidak ikut UN 5.117 (0,35 persen). Yang mengikuti UN dan lulus 1.450.498 (99,22 persen); tidak lulus 11.443 (0,78 persen). Sedangkan kelulusan SMK, secara nasional, total peserta 942.698 siswa (sekolah peserta 8.074).
Jumlah peserta yang lulus 938.043 (99,51 persen), tidak lulus 4.655 (0,49 persen). Untuk NTT, kelulusannya sedikit lebih baik dibanding kelulusan SMA/MA. Dari 33 provinsi di Indonesia, NTT berada diurutan 30 di atas NAD, Kalbar dan Sulteng yang menempati peringkat tiga terakhir dengan jumlah ketidaklulusan siswa tertinggi.
Jumlah peserta UN SMK NTT 12.624, jumlah tidak lulus 450 siswa (3,56 persen). Urutan terakhir ditempati Sulteng (4,83 persen), sedangkan peringkat teratas dengan jumlah kelulusan tertinggi ditempati provinsi Sumsel dimana hanya lima siswa yang tak lulus (0,03 persen) dari total peserta 18.553 siswa.
Sementara provinsi Bali diurutan kedua dengan jumlah siswa tak lulus 10 orang (0,05 persen) dari total siswa 18.282 siswa. Untuk Kabupaten di NTT, terdapat tujuh kabupaten yang siswa SMK-nya lulus 100 persen.
Tujuh kabupaten itu adalah Manggarai Timur (64 siswa), Sumba Barat Daya (748), Sumba Tengah (107), Rote Ndao (231), Sumba Barat (416), Manggarai (872), dan TTU (405). Sementara persentase ketidaklulusan tertinggi SMK di NTT ditempati Sabu Raijua dimana 72 dari 114 peserta UN tidak lulus (63,16 persen).
Terhadap keseluruhan hasil kelulusan ini, Mendiknas M. Nuh berjanji segera menyampaikan hasil analisis mendalam atas penyebab ketidaklulusan siswa ditiap daerah. "Insya Allah minggu depan kami akan menyampaikan analisis mendalam penyebab ketidaklulusan siswa di tiap-tiap daerah," kata Mendiknas, M. Nuh.
Terkait banyaknya daerah yang ditemukan siswanya tidak lulus, Mendiknas rupanya memahami berbagai persoalan yang dialami daerah. Karena itu, dalam penjelasannya kemarin (13/5), Mendiknas mengatakan bahwa, daerah-daerah yang banyak ditemukan siswa tidak lulus tidak akan diberikan 'shock theraphy' seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
"Semata-mata (Ketidaklulusan siswa, Red) bukan kesalahan di sekolah saja. Persoalannya kompleks, makanya tidak bisa melakukan shock theraphy. Beda dengan BOS yang betul-betul merupakan kesalahan input," jelasnya.
Dikatakan, hasil kelulusan ini akan menjadi peta kondisi pendidikan di Indonesia. Tujuannya untuk melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Sebagai contoh, di Kabupaten Ende, NTT, misalnya akan dianalisis lebih jauh lagi mengapa tingkat ketidaklulusannya tinggi, dimana mencapai 21 persen.
Tahun lalu NTT merupakan daerah yang paling banyak ditemukan siswa tidak lulus. Meski demikian, Nuh mengungkapkan, hal ini tidak mencerminkan bahwa pendidikan di daerah tersebut menurun. "Sebenarnya sudah berkurang dibanding tahun lalu," pungkas Nuh. (ken/jpnn/aln/fmc)
Sumba Tengah dan Rote Ndao 100 Persen
JAKARTA, Timex-Menjelang pengumuman kelulusan siswa SMA dan MA tahun ajaran 2010/2011, Kemendiknas merilis data kelulusan Ujian Nasional (UN) para siswa di seluruh Indonesia.
Tercatat sebanyak 1.450.498 siswa atau sekitar 99,22 persen setingkat SMA dan MA dinyatakan lulus UN dari total 1.461.941 siswa. Sementara jumlah siswa yang dinyatakan gagal dalam UN sebanyak 11.443 siswa.
Menurut Mendiknas Mohammad Nuh, tingkat kelulusan tahun ini mengalami peningkatan dibanding tahun lalu. "Tahun 2010 jumlah siswa SMA/MA yang lulus sebanyak 1.368.938 anak atau sekitar 89,93 persen.
Jumlah siswa yang tidak lulus juga mengalami penurunan, tahun kemarin yang tidak lulus mencapai 153.257 siswa atau sekitar 10,07 persen," papar Nuh, dalam konferensi pers di ruang sidang, gedung Kemendiknas, Jumat (13/5).
Nuh melanjutkan, terkait peringkat kelulusan UN, provinsi Bali meraih ranking tertinggi dengan rerata nilai UN 8,31. Sementara posisi paling buncit diduduki Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan nilai rerata UN hanya 6,13.
Sementara Provinsi Jawa Timur berada di posisi lima dengan rerata nilai UN 7,86, sedangkan Provinsi Sumatra Utara berada di peringkat dua. Provinsi DKI berada di posisi ketiga belas berada di bawah Provinsi Maluku. Meski tingkat kelulusan mengalami peningkatan, mantan Rektor ITS tersebut menyatakan masih ada sekolah yang keseluruhan siswanya tidak lulus.
Total ada lima SMA yang seratus persen siswanya dinyatakan gagal dalam UN. Kelima sekolah tersebut tersebar di DKI Jakarta dengan jumlah siswa tidak lulus sebanyak tujuh orang, Simeulue, Aceh (26 siswa), Jambi (2 siswa), Kian Darat, Maluku (48 siswa), Urei Fasei, Papua (64).
"Ini satu sekolah solider semua siswanya. Jadi satu tidak lulus, yang lain juga ikutan," canda Nuh tanpa mau menyebutkan nama-nama sekolah tersebut. Nuh memaparkan, saat ini, nilai UN para siswa tersebut dalam proses pengiriman ke sekolah masing-masing.
Hasil nilai UN tersebut akan dibahas dalam rapat bersama di setiap satuan pendidikan. Karena itu, hasil UN belum menjamin kelulusan seseorang. "Lulus UN belum tentu lulus sekolah. Tiap satuan pendidikan masih akan melihat beberapa hal.
Misalnya semua program sudah diikuti, apakah berkepribadian baik dan berakhlak mulia serta ujian nyanyi atau muatan lokal lainnya lulus atau tidak," jelasnya. Sementara itu, untuk hasil kelulusan UN para siswa SMK, sebanyak 938.043 siswa dari total 942.698 siswa.
Sementara jumlah siswa yang tidak lulus mencapai 4.655 siswa. Tingkat kelulusan siswa SMK paling tinggi berada di Provinsi Sumatra Utara, sedangkan tingkat kelulusan terendah berada di provinsi Sulawesi Tenggara. Menurut rencana pengumuman kelulusan akan dilakukan di masing-masing sekolah, pekan depan.
Nuh menjanjikan usai pengumuman kelulusan, pihaknya akan segera menganalisis hasil kelulusan, terkait tingkat kelulusan, hingga tingkat kesulitan soal. "Minggu depan kita lakukan depth analysis. Kita lihat semua, tujuan dari UN kan sebagai peta untuk lakukan perbaikan. Jadi nanti dievaluasi apakah bertambah baik, kalau berubah dimananya," imbuhnya.
NTT Kembali Jadi Juru Kunci
Komentar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT, Thobias Uly bahwa pihaknya optimistis kalau persentase Ujian Nasional (UN) SMA/MA dan SMK tahun ini meningkat dibanding tahun 2010 lalu memang terwujud.
Hanya sayang, peningkatan itu tak mampu mengangkat prestasi NTT dari posisi juru kunci dalam pelaksanaan UN tahun ini. Provinsi NTT yang dipimpin duet Frans Lebu Raya dan Esthon L. Foenay kembali menempati peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia untuk jumlah peserta UN SMA/MA terbanyak tidak lulus.
Ini merupakan ulangan prestasi yang diraih NTT pada UN tahun 2010 lalu, dimana NTT menjadi juru kunci karena setengah lebih dari jumlah peserta UN-nya tidak lulus. Sekadar mengingatkan, tahun 2010 lalu, peserta UN SMA/MA NTT berjumlah 35.201.
Dari jumlah itu, hanya 16.868 siswa (47,59 persen) yang lulus, sedangkan sisanya 18.333 siswa (52,08 persen) tidak lulus. Meski demikian, presetasi kelulusan tahun jauh lebih baik dibanding tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), sebagaimana disampaikan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Muhammad Nuh dalam jumpa pers di Gedung Kemendiknas, Jumat (13/5) petang, jumlah peserta UN SMA NTT tahun ini adalah 32.532 siswa.
Dari jumlah ini, hanya 1.813 siswa (5,57 persen) yang tidak lulus. Artinya 30.719 siswa (94,43 persen) dinyatakan lulus UN tahun ini. Peringkat pertama dengan kelulusan UN terbaik diraih provinsi Bali (tidak lulus 0,04 persen), diikuti Jabar (tidak lulus 0,08 persen), dan Provinsi Sulut (tidak lulus 0,09 persen) diurutan tiga.
Sementara urutan tiga terbawah berturut-turut adalah NTT (5,57 persen tidak lulus), Babel (4,14 persen tidak lulus) dan Kalteng (4 persen tidak lulus). Nuh mengatakan, jika dilihat berdasarkan komposisi jumlah sekolah peserta UN SMA/MA yang jumlahnya 16.835 sekolah, maka sekolah yang persentase kelulusannya 100 persen sebanyak 14.131 sekolah (83,94 persen.
"Ini mengalami peningkatan, karena jumlah sekolah yang nol persen kelulusannya hanya lima sekolah, lulus dibawah 25 persen 15 sekolah, antara 25 persen sampai 50 persen 46 sekolah, diatas 50 persen sampai 75 persen 155 sekolah, diatas 75 persen sampai 90 persen 396 sekolah, dan antara 90 persen sampai 100 persen 2.084 sekolah," ungkap M. Nuh.
Untuk perhitungan Rerata Nilai Akhir (hasil penggabungan antara Nilai UN dan Nilai Sekolah), provinsi Bali menempati peringkat pertama, sedangkan NTT diposisi juru kunci. Untuk Rerata Akhir Provinsi Bali nilainya siswanya 8,40 (Rerata Nilai UN = 8,31; Rerata NS = 8,51), sedangkan NTT Rerata Akhir adalah 6,87 (Rerata Nilai UN = 6,13; Rerata NS = 7,97).
Sementara untuk Rerata Akhir Nasional adalah 7,81; Rerata Nilai UN Nasional 7,60, dan Rerata Nasional Nilai Sekolah (NS) adalah 8,11. Mendiknas menyebutkan, secara nasional, jumlah peserta UN tahun ini sebanyak 1.461.941 siswa.
Siswa yang dinyatakan lulus berjumlah 1.450.498 orang (99,22 persen). Sedangkan jumlah siswa yang tidak lulus 11.443 orang (0,78). "Jika dibanding tahun 2010 lalu, kelulusan tahun ini mengalami peningkatan.
Tahun lalu persentase kelulusan 99,04 persen, tahun ini naik menjadi 99,22 persen," ungkap Mendiknas. M. Nuh menyebutkan, peserta UN SMA/MA yang mendaftar tahun ini berjumlah 1.476.575, yang memasukkan Nilai Sekolah 1.467.058 (99,36 persen); tidak memasukkan 9.517 (0,64 persen).
Yang mengikuti UN 1.461.941 (99,65 persen), tidak ikut UN 5.117 (0,35 persen). Yang mengikuti UN dan lulus 1.450.498 (99,22 persen); tidak lulus 11.443 (0,78 persen). Sedangkan kelulusan SMK, secara nasional, total peserta 942.698 siswa (sekolah peserta 8.074).
Jumlah peserta yang lulus 938.043 (99,51 persen), tidak lulus 4.655 (0,49 persen). Untuk NTT, kelulusannya sedikit lebih baik dibanding kelulusan SMA/MA. Dari 33 provinsi di Indonesia, NTT berada diurutan 30 di atas NAD, Kalbar dan Sulteng yang menempati peringkat tiga terakhir dengan jumlah ketidaklulusan siswa tertinggi.
Jumlah peserta UN SMK NTT 12.624, jumlah tidak lulus 450 siswa (3,56 persen). Urutan terakhir ditempati Sulteng (4,83 persen), sedangkan peringkat teratas dengan jumlah kelulusan tertinggi ditempati provinsi Sumsel dimana hanya lima siswa yang tak lulus (0,03 persen) dari total peserta 18.553 siswa.
Sementara provinsi Bali diurutan kedua dengan jumlah siswa tak lulus 10 orang (0,05 persen) dari total siswa 18.282 siswa. Untuk Kabupaten di NTT, terdapat tujuh kabupaten yang siswa SMK-nya lulus 100 persen.
Tujuh kabupaten itu adalah Manggarai Timur (64 siswa), Sumba Barat Daya (748), Sumba Tengah (107), Rote Ndao (231), Sumba Barat (416), Manggarai (872), dan TTU (405). Sementara persentase ketidaklulusan tertinggi SMK di NTT ditempati Sabu Raijua dimana 72 dari 114 peserta UN tidak lulus (63,16 persen).
Terhadap keseluruhan hasil kelulusan ini, Mendiknas M. Nuh berjanji segera menyampaikan hasil analisis mendalam atas penyebab ketidaklulusan siswa ditiap daerah. "Insya Allah minggu depan kami akan menyampaikan analisis mendalam penyebab ketidaklulusan siswa di tiap-tiap daerah," kata Mendiknas, M. Nuh.
Terkait banyaknya daerah yang ditemukan siswanya tidak lulus, Mendiknas rupanya memahami berbagai persoalan yang dialami daerah. Karena itu, dalam penjelasannya kemarin (13/5), Mendiknas mengatakan bahwa, daerah-daerah yang banyak ditemukan siswa tidak lulus tidak akan diberikan 'shock theraphy' seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
"Semata-mata (Ketidaklulusan siswa, Red) bukan kesalahan di sekolah saja. Persoalannya kompleks, makanya tidak bisa melakukan shock theraphy. Beda dengan BOS yang betul-betul merupakan kesalahan input," jelasnya.
Dikatakan, hasil kelulusan ini akan menjadi peta kondisi pendidikan di Indonesia. Tujuannya untuk melakukan perbaikan-perbaikan ke depan. Sebagai contoh, di Kabupaten Ende, NTT, misalnya akan dianalisis lebih jauh lagi mengapa tingkat ketidaklulusannya tinggi, dimana mencapai 21 persen.
Tahun lalu NTT merupakan daerah yang paling banyak ditemukan siswa tidak lulus. Meski demikian, Nuh mengungkapkan, hal ini tidak mencerminkan bahwa pendidikan di daerah tersebut menurun. "Sebenarnya sudah berkurang dibanding tahun lalu," pungkas Nuh. (ken/jpnn/aln/fmc)
Thursday, May 5, 2011
persiapan tugas lte
Testing strategies involving least biased language assessment of bilingual children.
Increased attention is being given to strategies for the least biased language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language. One main reason is the concern that the administration of language tests in English using current norms is inappropriate for students whose dominant language is other than English. This article discusses a variety of alternative assessment approaches, including renorming a test for the specific population being tested, using dynamic assessment techniques to assess a child's modifiability, using other nonstandardized measures, and modifying standardized tests. Each of these alternatives has advantages and disadvantages. In addition, results from a preliminary investigation using modifications of four subtests of the Clinical Evaluation of Language Fundamentals-Third Edition (CELF-3) are presented to further the dialogue about language assessment issues. Twenty-eight bilingual Latino children, ages 8 and 9 years, were administered the CELF-3 and the modified version of the test in counterbalanced order. Clinical implications for creating least biased language assessment strategies are included as the authors provide a tutorial on the broad topic of language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language.
Considerable attention has been given in recent years to the least biased language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language (Brice, 2002; Cheng, 1991; Goldstein, 2000; Hamayan & Damico, 1991; Kayser, 1995, 1998; Langdon, with Cheng, 1992; Langdon & Saenz, 1996; Lidz & Pena, 1996; Pena, Iglesias, & Lidz, 2001; Pena & Quinn, 1997; Restrepo, 1998; Roseberry-McKibbin, 2002; Tzuriel, 2001; Ukrainetz, Harpell, Walsh, & Coyle, 2000). The consensus is that the administration of language tests in English using current norms is inappropriate for students whose dominant language is not English.
There are a number of reasons for this consensus. Typically developing students who are acquiring English as a second language may score lower than monolingual peers on standardized tests involving academic language skills, even when they are fluent in conversational contexts (Cummins, 1984). Tests that are normed in English may include members of different ethnic and racial groups, but the percentage of culturally and linguistically diverse students included in norming samples typically is no more than that included in the population of the United States as a whole. In such cases, for many English standardized tests, Asian and Latino children's scores are still compared primarily with those of middle class, monolingual Euro-American children.
Another issue with standardized testing is the fact that children from low-income backgrounds frequently score lower on standardized tests than do children from middle or upper class backgrounds (Fazio, Naremore, & Connell, 1996; Fujiura, 2000; Rhyner, Kelly, Brantley, & Krueger, 1999). In 2001, more than 27% of Latino families with children under the age of 18 lived in poverty, compared with 16% of families in the United States as a whole (U.S. Census Bureau, 2002). Culturally and linguistically diverse Latino children are therefore often at risk for scoring low on standardized tests by virtue of income alone. Because of these factors, researchers have advocated a variety of alternative approaches.
The issue of least biased assessment in the public schools is complicated by the fact that state or local administrative systems may specify eligibility criteria for speech-language services that involve minimum standard scores, percentiles, or minimum standard deviations below the mean on standardized testing, although the use of standardized tests is not mandatory (Roseberry-McKibbin, 2002). Given the large numbers of English language learners in the public schools in some states, the variety of languages they speak, and the difficulty at times of obtaining interpreters for testing, many speech-language pathologists continue to use, and rely on, standardized tests and their norms in English as an important aspect of their test battery. Perhaps not coincidentally, areas with large numbers of culturally and linguistically diverse students have a disproportionately high number of children enrolled in special education programs (Articles, Aguirre-Munoz, & Abedi, 1998). In fact, children referred for special education assessments may be assessed using the same battery of tests, regardless of their characteristics (Baker, Plasencia- Peinado, & Lezcano-Lytle, 1998). Given the continuing emphasis upon standardized testing, especially in the public schools, investigations of alternative methods for this population are needed.
ALTERNATIVES TO STANDARDIZED TESTING AND NORMS
A number of alternatives have been advocated for standardized testing in English with culturally and linguistically diverse children. They have included renorming a test for the specific population being tested, using dynamic assessment techniques to assess a child's modifiability (Lidz & Pena, 1996; Pena et al., 2001; Pena & Quinn, 1997), using other nonstandardized measures (Brice, 2002; Cheng, 1991; Goldstein, 2000; Hamayan & Damico, 1991; Kayser, 1998; Langdon, with Cheng, 1992), and modifying standardized tests (Goldstein, 2000; Kayser, 1998; Langdon & Saenz, 1996; Mattes & Omark, 1991). Each of these alternatives has advantages and disadvantages.
Renorming
Renorming a standardized test using the target population at issue has been advocated as an alternative to using norms based upon the population of the United States. The issue of establishing appropriate norms is an important one. Genesee and Upshur (1996) stated that an appropriate norming group should include individuals of the same ethnic and cultural backgrounds, linguistic background, age, gender, and educational level and type. The group on which the test is normed should also be relatively homogeneous. Although renorming has not been used frequently, at least one district, Santa Ana Unified School District in Southern California, has renormed the Expressive One-Word Picture Vocabulary Test-Revised (EOWPVT-R; Gardner, 1985) for its students (D. Blevins, personal communication, November 7, 2002) and has extensively used the renormed test to assess children within the district (see Note).
Renorming a test has several advantages. In a large and relatively homogeneous school district like Santa Ana, large numbers of bilingual pupils share the same cultural and linguistic backgrounds and economic status, making the time and effort expended in renorming potentially worthwhile. When the performance of particular students in the district is compared to that of their peers, speech-language clinicians can be relatively confident that students who score in the low range on the test rank substantially below peers of the same background.
Renorming also possesses a number of disadvantages. The process requires substantial coordination and time to assess enough typically developing children to provide meaningful norms. In a small or relatively unpopulated geographical area or highly diverse school district, there may not be enough speech--language pathologists or students sharing the same cultural/linguistic backgrounds to collect meaningful local norms. In addition, applicability of the norms is limited to the population upon which it has been renormed (D. Blevins, personal communication, November 7, 2002).
Tests that are both translated and renormed also should have their reliability and validity established for the intended uses (Baker et al., 1998). The difficulty in finding exact equivalencies for English words and concepts may change the absolute and relative difficulty of test items, seriously compromising a test's reliability (Kayser, 1998; Roseberry-McKibbin, 2002). Translated items also may not correspond as clearly with pictured items on a vocabulary test as the original English vocabulary words. In addition, grammatical structures in different languages may not be equivalent or may be acquired at different ages. Finally, differences in life experiences may not easily translate from one culture …
Language Tests in Secondary and Further Vocational Education Are Problematic, Dutch Researcher Says
ScienceDaily (Nov. 15, 2010) — Teachers regularly test the wrong things or they test students for the wrong purpose. We can handle this differently and better, states Dutch researcher UriĆ«l Schuurs. Teachers need tests to evaluate what a student has already learned and what he still needs to learn. A student also takes tests to make progress in his own learning process. However, research by the Expertise Centre for the Dutch Language (Expertisecentrum Nederlands) has shown that there is a gap between what teachers want to test and what standard language tests have to offer.
________________________________________
Measuring students' learning performances generally serves two goals: teachers test their students as a form of feedback and as a part of the learning process (assessment for learning) or teachers test students to examine them and to evaluate the progress of the learning process (assessment of learning). Schuurs studied recent academic literature and asked teachers about language tests in secondary and further vocational education to gain insight into the current practice of testing.
Hardly any standardisation
In theory, there is a clear difference between assessment for learning and assessment of learning. Depending on the purpose of the test, different requirements can be defined. In practice it seems, however, that teachers hardly make a distinction between the different test types. Especially in further vocational education, various test purposes are thrown together in a heap and hardly any use is made of standardised tests. The tests that are being used are often developed by teachers themselves and generally do not comply with reasonable reliability requirements. As a result, the value of the test remains unclear, which hinders students, teachers and the vocational sector. In secondary vocational education, little innovative language testing takes place.
Student's learning process needs better support
Schuurs notices that many teachers expect more from a test than the purpose for which it was developed. Teachers want one test to serve multiple purposes. For instance, they want to be able to judge the performance of a student and at the same time they want to identify the student's weaknesses and the pathway the student should follow. But one test cannot bring all these things to light, says Schuurs. This approach to testing means that opportunities are overlooked. A student's learning process can be supported better if teachers start to examine better.
Reintroduce central exams in further vocational education
On the basis of his research, Schuurs concludes that for further vocational education, the best approach would be to (re)introduce central exams based on national standards. In further vocational education, teachers, in particular, have high expectations that cannot be met with the tests. The converse is true for secondary vocational education, where tests could be used more as part of the learning process. This could, for example, be realised by having students create portfolios, regularly giving them feedback and making them evaluate each other's work (peer evaluation).
Transition from secondary to further vocational education needs improvement
Education policy is aimed at facilitating so-called continuous learning pathways, which enable students to effortlessly move from secondary to further vocational education. Schuurs contends that the difference in testing methods between secondary and further vocational education hinders a smooth transition between the two. In his research, Schuurs provides teachers with tips on how to choose the right testing methods.
The study Measuring learning performances in (v)mbo: assessment for learning and assessment of learning was commissioned by the Dutch Programme Council for Educational Research, a research unit of NWO, and was carried out by Dr U. Schuurs and Prof L. Verhoeven of the Expertise Centre for the Dutch Language (Expertisecentrum Nederlands) in Nijmegen.
Increased attention is being given to strategies for the least biased language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language. One main reason is the concern that the administration of language tests in English using current norms is inappropriate for students whose dominant language is other than English. This article discusses a variety of alternative assessment approaches, including renorming a test for the specific population being tested, using dynamic assessment techniques to assess a child's modifiability, using other nonstandardized measures, and modifying standardized tests. Each of these alternatives has advantages and disadvantages. In addition, results from a preliminary investigation using modifications of four subtests of the Clinical Evaluation of Language Fundamentals-Third Edition (CELF-3) are presented to further the dialogue about language assessment issues. Twenty-eight bilingual Latino children, ages 8 and 9 years, were administered the CELF-3 and the modified version of the test in counterbalanced order. Clinical implications for creating least biased language assessment strategies are included as the authors provide a tutorial on the broad topic of language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language.
Considerable attention has been given in recent years to the least biased language assessment of culturally and linguistically diverse children for whom English is a second language (Brice, 2002; Cheng, 1991; Goldstein, 2000; Hamayan & Damico, 1991; Kayser, 1995, 1998; Langdon, with Cheng, 1992; Langdon & Saenz, 1996; Lidz & Pena, 1996; Pena, Iglesias, & Lidz, 2001; Pena & Quinn, 1997; Restrepo, 1998; Roseberry-McKibbin, 2002; Tzuriel, 2001; Ukrainetz, Harpell, Walsh, & Coyle, 2000). The consensus is that the administration of language tests in English using current norms is inappropriate for students whose dominant language is not English.
There are a number of reasons for this consensus. Typically developing students who are acquiring English as a second language may score lower than monolingual peers on standardized tests involving academic language skills, even when they are fluent in conversational contexts (Cummins, 1984). Tests that are normed in English may include members of different ethnic and racial groups, but the percentage of culturally and linguistically diverse students included in norming samples typically is no more than that included in the population of the United States as a whole. In such cases, for many English standardized tests, Asian and Latino children's scores are still compared primarily with those of middle class, monolingual Euro-American children.
Another issue with standardized testing is the fact that children from low-income backgrounds frequently score lower on standardized tests than do children from middle or upper class backgrounds (Fazio, Naremore, & Connell, 1996; Fujiura, 2000; Rhyner, Kelly, Brantley, & Krueger, 1999). In 2001, more than 27% of Latino families with children under the age of 18 lived in poverty, compared with 16% of families in the United States as a whole (U.S. Census Bureau, 2002). Culturally and linguistically diverse Latino children are therefore often at risk for scoring low on standardized tests by virtue of income alone. Because of these factors, researchers have advocated a variety of alternative approaches.
The issue of least biased assessment in the public schools is complicated by the fact that state or local administrative systems may specify eligibility criteria for speech-language services that involve minimum standard scores, percentiles, or minimum standard deviations below the mean on standardized testing, although the use of standardized tests is not mandatory (Roseberry-McKibbin, 2002). Given the large numbers of English language learners in the public schools in some states, the variety of languages they speak, and the difficulty at times of obtaining interpreters for testing, many speech-language pathologists continue to use, and rely on, standardized tests and their norms in English as an important aspect of their test battery. Perhaps not coincidentally, areas with large numbers of culturally and linguistically diverse students have a disproportionately high number of children enrolled in special education programs (Articles, Aguirre-Munoz, & Abedi, 1998). In fact, children referred for special education assessments may be assessed using the same battery of tests, regardless of their characteristics (Baker, Plasencia- Peinado, & Lezcano-Lytle, 1998). Given the continuing emphasis upon standardized testing, especially in the public schools, investigations of alternative methods for this population are needed.
ALTERNATIVES TO STANDARDIZED TESTING AND NORMS
A number of alternatives have been advocated for standardized testing in English with culturally and linguistically diverse children. They have included renorming a test for the specific population being tested, using dynamic assessment techniques to assess a child's modifiability (Lidz & Pena, 1996; Pena et al., 2001; Pena & Quinn, 1997), using other nonstandardized measures (Brice, 2002; Cheng, 1991; Goldstein, 2000; Hamayan & Damico, 1991; Kayser, 1998; Langdon, with Cheng, 1992), and modifying standardized tests (Goldstein, 2000; Kayser, 1998; Langdon & Saenz, 1996; Mattes & Omark, 1991). Each of these alternatives has advantages and disadvantages.
Renorming
Renorming a standardized test using the target population at issue has been advocated as an alternative to using norms based upon the population of the United States. The issue of establishing appropriate norms is an important one. Genesee and Upshur (1996) stated that an appropriate norming group should include individuals of the same ethnic and cultural backgrounds, linguistic background, age, gender, and educational level and type. The group on which the test is normed should also be relatively homogeneous. Although renorming has not been used frequently, at least one district, Santa Ana Unified School District in Southern California, has renormed the Expressive One-Word Picture Vocabulary Test-Revised (EOWPVT-R; Gardner, 1985) for its students (D. Blevins, personal communication, November 7, 2002) and has extensively used the renormed test to assess children within the district (see Note).
Renorming a test has several advantages. In a large and relatively homogeneous school district like Santa Ana, large numbers of bilingual pupils share the same cultural and linguistic backgrounds and economic status, making the time and effort expended in renorming potentially worthwhile. When the performance of particular students in the district is compared to that of their peers, speech-language clinicians can be relatively confident that students who score in the low range on the test rank substantially below peers of the same background.
Renorming also possesses a number of disadvantages. The process requires substantial coordination and time to assess enough typically developing children to provide meaningful norms. In a small or relatively unpopulated geographical area or highly diverse school district, there may not be enough speech--language pathologists or students sharing the same cultural/linguistic backgrounds to collect meaningful local norms. In addition, applicability of the norms is limited to the population upon which it has been renormed (D. Blevins, personal communication, November 7, 2002).
Tests that are both translated and renormed also should have their reliability and validity established for the intended uses (Baker et al., 1998). The difficulty in finding exact equivalencies for English words and concepts may change the absolute and relative difficulty of test items, seriously compromising a test's reliability (Kayser, 1998; Roseberry-McKibbin, 2002). Translated items also may not correspond as clearly with pictured items on a vocabulary test as the original English vocabulary words. In addition, grammatical structures in different languages may not be equivalent or may be acquired at different ages. Finally, differences in life experiences may not easily translate from one culture …
Language Tests in Secondary and Further Vocational Education Are Problematic, Dutch Researcher Says
ScienceDaily (Nov. 15, 2010) — Teachers regularly test the wrong things or they test students for the wrong purpose. We can handle this differently and better, states Dutch researcher UriĆ«l Schuurs. Teachers need tests to evaluate what a student has already learned and what he still needs to learn. A student also takes tests to make progress in his own learning process. However, research by the Expertise Centre for the Dutch Language (Expertisecentrum Nederlands) has shown that there is a gap between what teachers want to test and what standard language tests have to offer.
________________________________________
Measuring students' learning performances generally serves two goals: teachers test their students as a form of feedback and as a part of the learning process (assessment for learning) or teachers test students to examine them and to evaluate the progress of the learning process (assessment of learning). Schuurs studied recent academic literature and asked teachers about language tests in secondary and further vocational education to gain insight into the current practice of testing.
Hardly any standardisation
In theory, there is a clear difference between assessment for learning and assessment of learning. Depending on the purpose of the test, different requirements can be defined. In practice it seems, however, that teachers hardly make a distinction between the different test types. Especially in further vocational education, various test purposes are thrown together in a heap and hardly any use is made of standardised tests. The tests that are being used are often developed by teachers themselves and generally do not comply with reasonable reliability requirements. As a result, the value of the test remains unclear, which hinders students, teachers and the vocational sector. In secondary vocational education, little innovative language testing takes place.
Student's learning process needs better support
Schuurs notices that many teachers expect more from a test than the purpose for which it was developed. Teachers want one test to serve multiple purposes. For instance, they want to be able to judge the performance of a student and at the same time they want to identify the student's weaknesses and the pathway the student should follow. But one test cannot bring all these things to light, says Schuurs. This approach to testing means that opportunities are overlooked. A student's learning process can be supported better if teachers start to examine better.
Reintroduce central exams in further vocational education
On the basis of his research, Schuurs concludes that for further vocational education, the best approach would be to (re)introduce central exams based on national standards. In further vocational education, teachers, in particular, have high expectations that cannot be met with the tests. The converse is true for secondary vocational education, where tests could be used more as part of the learning process. This could, for example, be realised by having students create portfolios, regularly giving them feedback and making them evaluate each other's work (peer evaluation).
Transition from secondary to further vocational education needs improvement
Education policy is aimed at facilitating so-called continuous learning pathways, which enable students to effortlessly move from secondary to further vocational education. Schuurs contends that the difference in testing methods between secondary and further vocational education hinders a smooth transition between the two. In his research, Schuurs provides teachers with tips on how to choose the right testing methods.
The study Measuring learning performances in (v)mbo: assessment for learning and assessment of learning was commissioned by the Dutch Programme Council for Educational Research, a research unit of NWO, and was carried out by Dr U. Schuurs and Prof L. Verhoeven of the Expertise Centre for the Dutch Language (Expertisecentrum Nederlands) in Nijmegen.
Subscribe to:
Posts (Atom)